Cerita ini sangat terkenal dalam humor sufi...
Suatu ketika orang mendapati Nasrudin sedang mondar-mandir sambil melihat-lihat ke tanah di sekeliling rumah, seperti mencari-cari sesuatu yang hilang. Tetangga-2nya mendekatinya dan bertanya,
"Mencari apa Nasrudin?"
"Oh, saya mencari cincin saya yang hilang", jawab Nasrudin.
"Kalau begitu, kami bantu mencarikan", tetangga-tetangga itu menawarkan.
Kemudian tetangga-tetangga Nasrudin beramai-ramai membantu Nasrudin mencari cincin itu. Makin lama makin, banyak. Namun hingga menjelang sore, tetap saja cincin itu tidak ketemu. Penasaran, salah seorang bertanya,
"Nasrudin, sebenarnya di mana cincin itu hilang?"
"Di dalam rumah.."
"Lho, kenapa mencari di luar rumah?", tanya orang itu sambil marah.
"Karena di rumah gelap, jadi saya cari di luar yang terang..."
????????
Mungkin kita, akan berkomentar; Goblok! Bodoh! Nggak punya akal! Atau bahkan memaki dengan "Otak Kerbau", "Gila" atau "Sinting" kepada Nasrudin...
Namun anehnya, sesungguhnya kita sering melakukan hal yang sama dengan Nasrudin untuk hal yang jauh lebih berharga daripada sekedar Cincin. Kita hidup di dunia adalah mencari kebahagiaan, ketenangan, ketentraman. Kita juga sebagai Muslim tahu dan yakin, bahwa kebahagian itu ada dan tumbuh di dalam hati kita, di dalam dada kita. Seperti kata Rasulullah SAW, "Taqwa itu di dalam sini", sambil menunjukkan dadanya.
Kita yakin bahwa membangun kebahagiaan adalah dengan membersihkan, memperindah dan menanam isi hati kita, bukan di luarnya. Kita yakin, ketakwaan, kecintaan kepada Allah adalah yang akan menentramkan dan mendatangkan kebahagiaan, "fiddunya wal akhirat".
Namun sayangnya, yang kita lakukan tidaklah seperti yang kita yakini... Kita lebih sibuk untuk mencari di luar hati kita. Kita lebih semangat untuk mengejar kekayaan, prestise, harga diri, dan keinginan untuk dianggap pintar, cerdas, apalagi alim dan sholeh.
Padahal kita yakin, bukan itu yang menyebabkan kebahagiaan. Namun mengapa kita (terutama saya) lebih memilih untuk mengejar semua yang "di luar itu", daripada sibuk untuk memperbaiki apa yang di dalam (hati)? Mengapa saya lebih suka dianggap cerdas, sukses, kaya, apalagi plus alim dan shaleh, daripada karena lebih banyak membersihkan dan menggali kekayaan batin kita?
Bukan kita sama dengan Nasrudin, bahkan untuk hal yang lebih penting dari sekadar cincin...
Astaghfirullah.........
*Pustaka Hikmah
13 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar